Langsung ke konten utama

Teacher Undercover by Erlinda Syam

Akhir semester begini, saya pusing. Setumpuk tugas dan lembar jawaban mahasiswa menunggu untuk dikoreksi. Waktu mengunggah nilai akhir semester juga sudah hampir last minutes. Belum lagi beberapa dokumen untuk persiapan sekolah doktor juga mulai mendekati deadline. Saya tipe orang yang mudah kena panic attack dan memiliki daya tahan rendah terhadap pressure. Kalo sudah begini, saya rentan sakit kepala dan asam lambung naik. Akibatnya, selain saya mudah uring2an., kecantikan yang tak seberapa itu juga nyaris hilang semuanya, dan the beauty berubah menjadi the beast.

Ini bukan situasi saya saja. Guru dan dosen dimana saja akan mengalaminya. Sejak saya memutuskan menerima takdir menjadi pengajar, saya telah bertekad menerima semua ups and downs of living as a teacher. Toh semua pekerjaan juga punya dua sisi. Tidak ada profesi yang melulu berisi kesenangan, minus kesusahan, atau sebaliknya Di satu sisi, dengan menjadi dosen, berteman dengan mahasiswa yang muda2, saya bisa stay young naturally tanpa perlu beli Natur-E. Tapi disisi lain, pada masa2 peak season seperti akhir semester begini, kerutan di wajah bertambah drastis meski sudah menggunakan krim anti aging yang ngakunya inspiring beauty, fawles white, best anti aging wrinkle cream dan macam2 lagi.

Faktanya, pekerjaan ini memiliki banyak tantangan. Pagi tadi saya membaca status facebook Prof.Lukito Edi nugroho dari UGM, salah seorang reviewer dan interviewer LPDP. Katanya “Wawancara LPDP kali ini agak bikin ilfil karena banyak yang meng-abuse profesi dosen. Ditanya kelak pengin jadi apa?Mereka jawab ingin jadi dosen. Juga ingin jadi pengusaha, buka bengkel, punya binbel, dll. Andaikan sampeyan tau, mas dan mbak...”
Saya setuju dengan pak Lukito. Siapapun yang ingin menempuh jalan ini (halaaah..) sebaiknya mempelajari dulu job descriptionnya. Apa2 saja peluang dan tantangannya. Bagaimana prospek finansialnya. Seberapa besar potensi kena stroke, hipertensi, serangan jantung, tewas ditangan mahasiswa, atau “ditembak” mahasiswa.

“Ditembak??

Sumpah, saya nggak bohong. Kita hidup di zaman demokrasi. Semua orang, berapapun usianya, bebas berekspresi. Pasal 28 UUD 1945 sudah menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh sebab itu, menjadi guru atau dosen dengan status single memiliki tantangan lebih berat daripada yang berstatus double apalagi triple..haha. Saya yang sama sekali nggak cantik begini aja, beberapa kali jadi sasaran tembak anak sekolah dan mahasiswa unyu2 yang gelap mata. Percuma berusaha menganalisis dimana letak pesona saya,buang2 waktu, gak akan ketemu karena memang pesona itu tidak pernah ada. Akan tetapi ada saja mahasiswa dan mantan mahasiswa yang berani menawar “Miss, bolehkah saya ke rumah? Saya ingin melamar miss”. Tidak sekali 2 kali saya mendapat sms gelap yang menyatakan suka, cinta, ngefans dan sejenisnya.

Kadang saya curhat pada teman2 dekat “nyari fans segudang gampang aja buat gue, tapi nyari calon papanya anak2 seorang aja susahnya minta ampun”

Itu baru ujian mental mental, belum lagi tantangan finansial.

Sebagai dosen, apalagi yang mengajar di kampus swasta di daerah seperti saya, menjadi kaya sama besar kemungkinannya dengan peluang timnas sepak bola Indonesia memenangkan piala dunia di Rusia tahun 2018 nanti. Ini agak miris karena dosen setidaknya berpendidikan master. Bertahun-tahun mengajar, sampai saat ini saya tetap tergolong dhuafa. Di keluarga saya, diantara kami 7 bersaudara, saya adalah yang paling miskin meskipun saya juga yang paling berpendidikan. Adik saya pernah menemukan slip gaji saya, lalu berkomentar kejam “ndeh kak...godang pulo gaji pegawai honorer di kantua adek lai pado iko”(lebih besar gaji pegawai honorer di kantor saya dari pada ini) haha..Tapi apa mau di kata, dia benar adanya. Adik saya no 6 yang lulusan fakultas teknik langsung diterima bekerja tak lama setelah wisuda. Dengan status fresh graduate zero year experience, dia mendapat starting salary 5 jutaan. Ini masih ditambah dengan lembur yang juga dibayar sangat manusiawi. At least setiap bulan take home salarynya tak akan kurang dari 7 atau 8 juta, kadang diatas 10 juta. Sekali lagi, ini fresh graduate. Lalu gaji saya berapa?
Noooo...jangan tanya, kalau saya beri tau, khawatirnya bulan Ramadhan ini jadi banyak yang menyalurkan zakat fitrahnya untuk saya .
Maka jangan heran kalo sampai saat ini saya tetap naik angkot atau ojek kemana2. Saya sih sabar aja ya.
Tapi kadang2 miris juga saat di parkiran kampus, saya sedang jalan kaki, clingak-clinguk nyari angkot atau bus kampus, nyaris meleleh karena udara panas kota padang, mendadak ada mobil mulus lewat, lalu kaca jendela depannya diturunkan..”Hi..miss, mau pulang?mau bareng saya?..dan itu adalah mahasiswa yang baru saja saya ajar .
Orang bisa saja berargumen, nanti kan bisa sertifikasi, kalau jadi guru besar tunjangannya juga besar, de elel. Iya benar, tapi it takes time sebelum kita bisa mengajukan sertifikasi, apalagi menunggu jadi profesor. Makan waktu bertahun2.

Tapi Allah maha adil. Rezeki akan datang dari pintu yang tak kita sangka2. Jalani saja tugas dan kewajiban kita dengan baik, ikhlas, Insyaallah allah akan cukupkan semua kebutuhan kita. Meskipun menjadi yang paling miskin di keluarga saya, saya juga yang paling banyak punya stempel di paspor, well...sebenarnya malah saya satu2nya yang punya paspor. Berita baiknya lagi, kesemua stempel itu saya peroleh tanpa mengeluarkan dana pribadi. Semuanya berkah dari menjadi dosen. Selain itu, alhamdulillah saya juga masih bisa membantu kebutuhan ibu saya kapanpun dia minta. Yah...walaupun ibu pengertian dengan hanya melibatkan saya untuk kebutuhan dibawah satu juta rupiah. Untuk kebutuhan besar, abang no 3 atau adik no 6 yang akan mengatasinya.

Menjadi pengajar juga kadang membuat kita berada pada situasi dilematis. Hari ini saya ditelepon seorang teman yang juga dosen. Ceritanya teman saya ini membimbing skripsi mahasiswa yang agak bermasalah. Sudah segala daya dan upaya dia lakukan untuk membantu, tapi nyatanya si mahasiswa tidak mungkin bisa dibuat lebih baik lagi. Teman saya bingung. Logikanya mengatakan kembalikan mahasiswa ini ke jurusan, biarkan kajur yang memutuskan. Tapi nuraninya mengatakan, dia harus melakukan sesuatu untuk membantu menyelamatkan satu jiwa yang kritis ini. Ini situasi sulit. Saya waktu awal2 menjadi dosen sangat idealis. Lebih dari setengah mahasiswa dikelas saya hanya mendapat nilai C atau D. Tapi lalu telepon saya krang kring akibat banyak mahasiswa yang complain. Saya sebenarnya bisa saja menunujukkan bukti2 fisik bahwa memang hanya itulah nilai yang mereka dapatkan. Tapi lalu kakak saya no 2 yang juga guru SMA menasehati, berbelas kasihlah, hidup jangan hanya pake logika, pake jugalah hati nurani. Kalau tidak fatal2 betul, jangan hambur2kan nilai D.

Finally...menjadi pengajar tidak mudah, tapi ini satu2nya pekerjaan yang pahalanya akan terus mengalir walaupun setelah kita mati. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat sama mulianya dengan doa anak yang sholeh dan shadaqah jariah. Gajinya memang tidak sebanding dengan titik peluh yang disebabkannya, namun percayalah, Allah akan penuhi semua kebutuhan kita. Tapi kalau nanti ada aksi demonstrasi menuntut perbaikan nasib dosen, tolong kabari saya, saya pasti ikut..haha.

Komentar

  1. Anggaw08.58.00

    Maaf lg googling ttg dosen, nyasarnya ke blog ini

    Kadang suka bertanya, kalau mahasiswa mdptkan banyak nilai sebaran bawah, itu artinya matakuliahnya terlalu sulit atau mahasiswanya dablek ya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spend Weekend in Sunset Rumah 40 Villa & Resto, Boneoge

Midday View of Sunset Rumah 40 Villa & Resto, Boneoge - Donggala Time flies so fast. I’ve been staying here for more than 2 years. Yeah, I’m not the local here. I come and stay here for work. If you ask me, “What do you do for a living?”, the answer is “I’m in teaching.” Being a practioner in Education like lecturer, I’m full of works. Many others think that lecturer will be on holiday on the semester break, but FYI it’s not happened on the reality. Semester break is only for students, not lecturers. Final test correction, BKD report, lesson plan, and research proposal are to do lists of lecturers in January. To deal with those activities, of course, I have to be smart in time management. So, I can do relaxation at the end of the month, before coming to the next semester. Unexpectedly, Anna Rufaida, my friend in Tadulako University who works as an operator staff in Language and Art Education Department, invited me to join in her travel plan to Boneoge, Donggala. After knowing whoev

Bits and Pieces of My Life: Hustle Culture and Multitasking

Have you ever heard about hustle culture and multitasking? Hustle culture is a person mentality who thinks work as everything above all. For them, work all day long every day is a must, for the sake of professionality. Until some of them end with burnout - exhaustion of physical or emotional strength or motivation usually as a result of prolonged stress or frustration of work. Sometimes, they are also multitasking - the ability to do multiple tasks at one time. Why do I talk 'bout this?   Hmm...I'm going to share about my activity recently ( in the last three months ).  After re-reading my daily journal, I realize that the rhythm of my life is in contrary with my principle, which is slow living. What I do recently, shows that I'm in hustle culture and a multitasking woman as well. My weekend is always full of workshops or meetings, from one place to another, even from one hotel to another. That's why, some of my friends or colleagues commented by saying:  "

Story of My 18th August

08.18.16 My 26 th Birthday              Bulan Agustus kerap kali menjadi bulan yang paling saya nanti-nanti setiap tahunnya. Itu tidak lain dan tidak bukan hanya karena satu hal, yaitu hari kelahiran. Tiap kali, Bangsa dan orang-orang Indonesia usai merayakan Hari Kemerdekaan, saya pun kembali diingatkan dengan hari dimana saya pertama kali melihat dunia yang fana ini. Tiap kali hari itu datang, saya selalu dan senantiasa bersyukur karena masih dianugrahi umur yang panjang. Namun, di sisi lain, saya pun menyadari bahwasanya saya juga semakin dekat dengan kematian. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa kehidupan dunia itu fana. Dunia hanyalah tempat persinggahan bagi hamba-Nya, sekaligus tempat untuk menyiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal. Dan, kehidupan yang kekal itu adalah akhirat.