Langsung ke konten utama

Motivasi Diri: Kesabaran dan Keteguhan Hati


 Apakah hidupku akan terus seperti ini?

Aku terlahir di dunia ini untuk menjalani kehidupan. Kehidupan yang sementara tentunya. Karena hidup yang kekal itu adalah akhirat. Di sini, aku tidak terlahir dan hidup sendirian, melainkan bersama dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Hidup yang aku impikan tidaklah mesti sama persis dengan hidup yang orang lain inginkan. Namun, tanpa aku sadari, dunia telah mengelabuiku. Aku dengan mudahnya menelusuri perjalanan hidup orang lain. Aku tergugah dengan segala apa yang orang lain dapatkan. Aku tertarik untuk bisa seperti orang lain, yang mampu mewujudkan keinginannya, dan hidup dengan bahagia.

Lebih tepatnya, mungkin aku ini iri.
Iri hati dengan kesuksesan serta kebahagiaan orang lain.

Mengapa orang lain bisa demikian?
Mengapa saya tidak?
Apa memang aku tidak pantas?


Ada banyak pertanyaan yang menghantuiku. Ada banyak prasangka di benakku. Hingga aku tidak berpikir jauh, apakah sesungguhnya pertanyaan itu tepat atau tidak. Aku harusnya bisa berkata bijak. Daripada mengungkapkan ribuan pertanyaan, mungkin ada baiknya jika aku melontarkan sejuta pernyataan. Itu adalah yang semestinya. Jika orang lain bisa dan mampu melakukan serta mencapai apa yang mereka impikan, harusnya aku juga bisa. Pantas tidaknya, aku takkan pernah tahu jika belum pernah mencobanya.

Aku memiliki impian.
Untuk mencapainya, aku tentunya harus berusaha dan berdoa. Aku pun melakukannya dengan sepenuh hati. Tak luput dari dukungan orang-orang yang mencintaiku, aku berusaha keras untuk menggapainya.

Aku bukanlah orang yang terlahir dengan sendok perak. Hidup seadanya dan selalu bersyukur atas apa yang aku miliki. Senantiasa menyadarkan diri agar tidak mudah terpengaruh dengan gaya hidup orang lain. Aku harus hidup dengan bagaimana seharusnya aku.

Bagaimanakah hidupku?

Jika orang lain hidup tanpa harus berpikir ini itu, aku sebaliknya. Aku hidup dengan sejuta pemikiran. Aku terus berpikir akan banyak hal. Hal itu berawal di saat aku berusia 11 tahun. Kala itu aku mulai hidup terpisah dengan keluarga. Aku hidup dan tumbuh dengan orang lain dari kalangan  yang berbeda-beda. Aku pun tersadar, aku tak boleh melihat bagaimana gaya hidup mereka. Karena gaya hidup kami berbeda. Memaksakan diri untuk bisa sama, hanya akan menjerumuskan diriku dalam kesulitan.

Tiga tahun hidup dibalut dengan sistem kedisiplinan dan seabrek aturan, tentunya membawa efek bagi kepribadianku. Aku pun menetapkan aturan untuk diriku sendiri. Jika orang lain menikmati segala hal yang bernuansa nyaman, mewah dan pribadi, aku sebaliknya. Aku membuat diriku menikmati hidup yang sederhana. Aku mencoba untuk tidak mengeluh. Menjalani serta melalui berbagai macam problematika kehidupan dengan segenap kesabaran yang aku miliki.

Saat ini,
Setelah belasan tahun mengenyam pendidikan tidaklah serta merta mampu mengubah hidupku. Masih tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Dengan kualifikasi dan kemampuan yang aku punya, tidaklah cukup menjamin untuk tiba di titik kesuksesan yang aku impikan. Aku sadar akan adanya perubahan, sedikit. Namun, pada dasarnya aku masih merasa jauh dari titik kepuasan. Aku justru membanding-bandingkan hidupku dengan hidup orang lain. Melihat kehidupan orang lain, membuatku merasa telah gagal. Aku gagal dengan segala usaha yang telah aku lakukan.

Masih berapa kalikah aku harus gagal?

Aku sudah mencoba melakukan yang terbaik dan tetap masih gagal. Apa lagi yang harus aku lakukan. Berapa kali lagi aku harus mencobanya untuk tiba pada batas akhirnya. Puluhan, ratusan ataukah ribuan kalikah hingga aku tak sanggup untuk menghitungnya lagi. Berapa kali aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak berbakat dalam bidang ini. Mungkinkah ini bukan jalan hidupku. Lantas, haruskah aku melangkah mundur?

Dan ternyata,
Pertanyaan pentingnya bukan berapa kali aku harus gagal, melainkan berapa kali aku harus bangkit lagi saat gagal. Jika aku bisa gagal 1000x, maka aku harusnya memastikan diriku untuk bisa bangkit 1001x.

Mengapa kegagalan masih bersamaku?
Masih sanggupkah aku sabar dan bangkit menjalaninya?
Akankah kesabaranku ini memiliki batasan?

Untuk kegagalan yang masih setiap menemaniku, aku akan terus berusaha untuk menerimamu. Aku akan senantiasa berusaha untuk tidak mengutuk siapapun, melainkan diri sendiri. Berusaha untuk tidak berprasangka yang tidak-tidak. Berusaha untuk tegar serta menahan tangis. Berusaha untuk menerima kenyataan bahwa aku masih dalam perjalanan untuk sampai ke puncak yang aku impikan. Ini hanyalah salah satu ujian kehidupan bagiku. Aku tidak harus jatuh terpuruk, melainkan aku harus bangkit. Karena aku masih dituntut untuk bersabar, lagi dan lagi. Bersabar dalam berusaha, berdoa dan menanti datangnya ataupun terwujudnya, yang terbaik.

Dan sesungguhnya,
Kesabaran tidak memiliki batasan. Sebesar apapun ujian kehidupan tetap akan luluh oleh kesabaran. Selemah apapun fisik seseorang, semiskin apapun seseorang, sekali dihatinya punya rasa sabar, dunia tidak akan mampu menyakitinya.

That's all!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spend Weekend in Sunset Rumah 40 Villa & Resto, Boneoge

Midday View of Sunset Rumah 40 Villa & Resto, Boneoge - Donggala Time flies so fast. I’ve been staying here for more than 2 years. Yeah, I’m not the local here. I come and stay here for work. If you ask me, “What do you do for a living?”, the answer is “I’m in teaching.” Being a practioner in Education like lecturer, I’m full of works. Many others think that lecturer will be on holiday on the semester break, but FYI it’s not happened on the reality. Semester break is only for students, not lecturers. Final test correction, BKD report, lesson plan, and research proposal are to do lists of lecturers in January. To deal with those activities, of course, I have to be smart in time management. So, I can do relaxation at the end of the month, before coming to the next semester. Unexpectedly, Anna Rufaida, my friend in Tadulako University who works as an operator staff in Language and Art Education Department, invited me to join in her travel plan to Boneoge, Donggala. After knowing whoev

Bits and Pieces of My Life: Hustle Culture and Multitasking

Have you ever heard about hustle culture and multitasking? Hustle culture is a person mentality who thinks work as everything above all. For them, work all day long every day is a must, for the sake of professionality. Until some of them end with burnout - exhaustion of physical or emotional strength or motivation usually as a result of prolonged stress or frustration of work. Sometimes, they are also multitasking - the ability to do multiple tasks at one time. Why do I talk 'bout this?   Hmm...I'm going to share about my activity recently ( in the last three months ).  After re-reading my daily journal, I realize that the rhythm of my life is in contrary with my principle, which is slow living. What I do recently, shows that I'm in hustle culture and a multitasking woman as well. My weekend is always full of workshops or meetings, from one place to another, even from one hotel to another. That's why, some of my friends or colleagues commented by saying:  "

Story of My 18th August

08.18.16 My 26 th Birthday              Bulan Agustus kerap kali menjadi bulan yang paling saya nanti-nanti setiap tahunnya. Itu tidak lain dan tidak bukan hanya karena satu hal, yaitu hari kelahiran. Tiap kali, Bangsa dan orang-orang Indonesia usai merayakan Hari Kemerdekaan, saya pun kembali diingatkan dengan hari dimana saya pertama kali melihat dunia yang fana ini. Tiap kali hari itu datang, saya selalu dan senantiasa bersyukur karena masih dianugrahi umur yang panjang. Namun, di sisi lain, saya pun menyadari bahwasanya saya juga semakin dekat dengan kematian. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa kehidupan dunia itu fana. Dunia hanyalah tempat persinggahan bagi hamba-Nya, sekaligus tempat untuk menyiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal. Dan, kehidupan yang kekal itu adalah akhirat.