Langsung ke konten utama

Berdamai dengan Masa Lalu



Masa lalu.

Setiap orang memiliki masa lalu atau kenangan, dari yang paling membahagiakan hingga yang paling menyakitkan. Tanpa bisa kita pungkiri, masa lalu akan meninggalkan jejak dalam diri kita. Khususnya masa lalu atau kenangan yang menyakitkan.

Demikian pula dengan saya.

Berbagai hal menyakitkan telah meninggalkan jejak tak terhapus dalam hidup saya. Entah itu, yang terkait dengan keluarga, pendidikan, pekerjaan ataupun hubungan personal.

Di lingkungan kerja,
Dengan profesi yang sama, pada dasarnya kita melakukan hal-hal yang kurang lebih sama. Namun, setiap individu memiliki kepribadian dan pemikiran yang berbeda. Oleh karenanya, terkadang tanpa kita sadari, terdapat perkataan atau perbuatan dari rekan kerja yang mampu menyakiti hati rekan yang lain. Kalaupun tiba-tiba kita menyadari kekhilafan tersebut, tentunya akan segera mengucap maaf. Dan, selanjutnya mungkin akan lebih hati-hati lagi dalam berkata dan berbuat. Kapan, dimana dan bagaimana seharusnya melakukannya, harus dipikirkan baik-baik terlebih dahulu.

Namun, apakah kata MAAF cukup untuk menyembuhkan rasa sakit hati?

Entahlah!

Saya pernah mengalaminya sekali dan itu sungguh sangat menyakitkan. Saya tidak berpikir mampu melupakannya hingga kapanpun. Dan yang lebih buruknya, hal itu mempengaruhi bagaimana saya sekarang ini. Takut dan terus-terusan merasa terbatasi dalam mengambil suatu keputusan, bertindak dan ataupun berucap. Sepertinya kata MAAF dan WAKTU takkan mampu menghapusnya.

Terkait dengan hubungan personal,
Saya tak memiliki kisah yang banyak dalam hal ini, tapi ada. Hanya sebuah kisah yang singkat, kurang lebih setengah tahun. Tidak butuh waktu yang lama untuk menguraikannya. Perkenalan yang kemudian berlanjut dalam komunikasi intens dengan kuantitas tatap muka yang terhitung jari, harus berakhir dengan suatu pengkhianatan. Segala ungkapan, perhatian dan kasih sayang serta janji manis hancur menjadi kepingan-kepingan tak bermakna. Everything ended just by wordsI choose her”.

Selanjutnya, terbersit dalam pikiran saya, mungkin itulah akhir yang semestinya untuk sesuatu yang tidak pernah dimulai.

Hanya saya saja yang bodoh. Terlalu bodoh untuk bisa menyadarinya dengan cepat. Terlalu mudah untuk percaya.

Mengapa orang begitu mudahnya mengkhianati? Bukankah kejujuran itu penting?

Since then (2010)

Sejak saat itu, saya berjanji untuk tidak lagi memikirkan menjalin hubungan personal dengan siapapun. Saya enggan menanggapi perkataan, perbuatan bahkan pengorbanan dari orang lain. Saya tidak yakin apa masih ada ketulusan itu. Sempat sekali terpikir itu ada pada diri seseorang yang pernah mendekat, tapi kemudian saya mengabaikannya. Mungkin saya telah menyakiti orang tersebut. Maaf, tapi saya tidak bisa lagi percaya apalagi meyakini.

Sejak saat itu,
Saya senantiasa berusaha mencari ruang maaf dari hati saya yang telah hancur. Memaafkan itu mudah untuk diucapkan, tapi melakukannya tidak. Meski demikian, perlahan seiring berjalannya waktu, aku mencoba melakukannya. Memaafkannya. Terlebih, menyimpan dendam hanya akan kembali pada diri saya.

Sejak saat itu,
Saya senantiasa berusaha menyibukkan diri dengan maksud melupakan. Masa lalu yang menyakitkan tidak pernah bisa dilupakan apalagi dihapus. Hal tersebut takkan terkubur dengan kesibukan. Kesibukan hanya mampu membuatnya tak terpikirkan sejenak. Kalaupun saya berhasil melupakannya, hal itu masih akan tetap diingat olehnya ataupun oleh orang lain. So, I keep it!

Sejak saat itu,
Saya senantiasa tersenyum dibalik rasa sakit dihadapan semua orang. Fake smile. Saya tahu, hal itu hanya berlaku bagi orang yang tidak peduli dengan saya. Untuk mereka, saya akan terus terlihat bahagia karena mereka tidak akan memikirkan ada apa dibalik senyum tersebut. Entah itu, kebahagiaan ataukah sebaliknya, kesedihan. Doesn’t matter, cukuplah bagi mereka yang peduli saja, mengetahuinya.

Sejak saat itu,
Saya senantiasa berusaha terlihat tegar dan kuat. Pada dasarnya yang demikian itu menggambarkan sebaliknya. Saya TAKUT. Saya tidak akan pernah kembali ke masa lalu yang menyakitkan itu. Saya tidak akan pernah berpikir untuk mengulang kenangan tersebut. Membahasnya pun hanya akan mengundang kesedihan, lagi.

Hantu masa lalu kapanpun bisa muncul. Tidak ada  yang benar-benar saya lupakan. Selama ini, saya berusaha keras menyibukkan diri karena saya tidak ingin memikirkannya. Furthermore, Saya tidak lagi memikirkan kebahagiaan dari suatu hubungan, melainkan dari ukiran prestasi dan kesuksesan.

Ada banyak mimpi-mimpi yang ingin saya wujudkan. Saya hanya akan menghabiskan hidup saya untuk hal tersebut. Saya hanya berpikir untuk tetap bisa menabur benih kebaikan, yang akan kekal bersama saya. Tidak untuk hal yang hanya akan hilang ataupun pergi, yang nantinya membuat dada saya sesak setiap kali dihadapkan pada kesakitan yang sama.

Hingga kini,
Saya bisa sesak di dada hingga kesulitan bernafas hanya dengan melihat dan membaca kisah yang menyakitkan.

Never RE-PLAY
Let bygones be bygones!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spend Weekend in Sunset Rumah 40 Villa & Resto, Boneoge

Midday View of Sunset Rumah 40 Villa & Resto, Boneoge - Donggala Time flies so fast. I’ve been staying here for more than 2 years. Yeah, I’m not the local here. I come and stay here for work. If you ask me, “What do you do for a living?”, the answer is “I’m in teaching.” Being a practioner in Education like lecturer, I’m full of works. Many others think that lecturer will be on holiday on the semester break, but FYI it’s not happened on the reality. Semester break is only for students, not lecturers. Final test correction, BKD report, lesson plan, and research proposal are to do lists of lecturers in January. To deal with those activities, of course, I have to be smart in time management. So, I can do relaxation at the end of the month, before coming to the next semester. Unexpectedly, Anna Rufaida, my friend in Tadulako University who works as an operator staff in Language and Art Education Department, invited me to join in her travel plan to Boneoge, Donggala. After knowing whoev

Bits and Pieces of My Life: Hustle Culture and Multitasking

Have you ever heard about hustle culture and multitasking? Hustle culture is a person mentality who thinks work as everything above all. For them, work all day long every day is a must, for the sake of professionality. Until some of them end with burnout - exhaustion of physical or emotional strength or motivation usually as a result of prolonged stress or frustration of work. Sometimes, they are also multitasking - the ability to do multiple tasks at one time. Why do I talk 'bout this?   Hmm...I'm going to share about my activity recently ( in the last three months ).  After re-reading my daily journal, I realize that the rhythm of my life is in contrary with my principle, which is slow living. What I do recently, shows that I'm in hustle culture and a multitasking woman as well. My weekend is always full of workshops or meetings, from one place to another, even from one hotel to another. That's why, some of my friends or colleagues commented by saying:  "

Story of My 18th August

08.18.16 My 26 th Birthday              Bulan Agustus kerap kali menjadi bulan yang paling saya nanti-nanti setiap tahunnya. Itu tidak lain dan tidak bukan hanya karena satu hal, yaitu hari kelahiran. Tiap kali, Bangsa dan orang-orang Indonesia usai merayakan Hari Kemerdekaan, saya pun kembali diingatkan dengan hari dimana saya pertama kali melihat dunia yang fana ini. Tiap kali hari itu datang, saya selalu dan senantiasa bersyukur karena masih dianugrahi umur yang panjang. Namun, di sisi lain, saya pun menyadari bahwasanya saya juga semakin dekat dengan kematian. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa kehidupan dunia itu fana. Dunia hanyalah tempat persinggahan bagi hamba-Nya, sekaligus tempat untuk menyiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal. Dan, kehidupan yang kekal itu adalah akhirat.