Aku terlahir di dunia ini untuk menjalani
kehidupan. Kehidupan yang sementara tentunya. Karena hidup yang kekal itu
adalah akhirat. Di sini, aku tidak terlahir dan hidup sendirian, melainkan
bersama dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Hidup yang aku impikan tidaklah
mesti sama persis dengan hidup yang orang lain inginkan. Namun, tanpa aku
sadari, dunia telah mengelabuiku. Aku dengan mudahnya menelusuri perjalanan
hidup orang lain. Aku tergugah dengan segala apa yang orang lain dapatkan. Aku
tertarik untuk bisa seperti orang lain, yang mampu mewujudkan keinginannya, dan
hidup dengan bahagia.
Lebih tepatnya, mungkin aku ini iri.
Iri hati dengan kesuksesan serta kebahagiaan orang
lain.
Mengapa
orang lain bisa demikian?
Mengapa
saya tidak?
Apa
memang aku tidak pantas?
Ada banyak pertanyaan yang menghantuiku. Ada banyak
prasangka di benakku. Hingga aku tidak berpikir jauh, apakah sesungguhnya
pertanyaan itu tepat atau tidak. Aku harusnya bisa berkata bijak. Daripada
mengungkapkan ribuan pertanyaan, mungkin ada baiknya jika aku melontarkan
sejuta pernyataan. Itu adalah yang semestinya. Jika orang lain bisa dan mampu
melakukan serta mencapai apa yang mereka impikan, harusnya aku juga bisa.
Pantas tidaknya, aku takkan pernah tahu jika belum pernah mencobanya.
Aku memiliki impian.
Untuk mencapainya, aku tentunya harus berusaha dan
berdoa. Aku pun melakukannya dengan sepenuh hati. Tak luput dari dukungan
orang-orang yang mencintaiku, aku berusaha keras untuk menggapainya.
Aku bukanlah orang yang terlahir dengan sendok
perak. Hidup seadanya dan selalu bersyukur atas apa yang aku miliki. Senantiasa
menyadarkan diri agar tidak mudah terpengaruh dengan gaya hidup orang lain. Aku
harus hidup dengan bagaimana seharusnya aku.
Bagaimanakah
hidupku?
Jika orang lain hidup tanpa harus berpikir ini itu,
aku sebaliknya. Aku hidup dengan sejuta pemikiran. Aku terus berpikir akan
banyak hal. Hal itu berawal di saat aku berusia 11 tahun. Kala itu aku mulai
hidup terpisah dengan keluarga. Aku hidup dan tumbuh dengan orang lain dari
kalangan yang berbeda-beda. Aku pun
tersadar, aku tak boleh melihat bagaimana gaya hidup mereka. Karena gaya hidup
kami berbeda. Memaksakan diri untuk bisa sama, hanya akan menjerumuskan diriku
dalam kesulitan.
Tiga tahun hidup dibalut dengan sistem kedisiplinan
dan seabrek aturan, tentunya membawa efek bagi kepribadianku. Aku pun
menetapkan aturan untuk diriku sendiri. Jika orang lain menikmati segala hal
yang bernuansa nyaman, mewah dan pribadi, aku sebaliknya. Aku membuat diriku
menikmati hidup yang sederhana. Aku mencoba untuk tidak mengeluh. Menjalani
serta melalui berbagai macam problematika kehidupan dengan segenap kesabaran
yang aku miliki.
Saat ini,
Setelah belasan tahun mengenyam pendidikan tidaklah
serta merta mampu mengubah hidupku. Masih tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Dengan kualifikasi dan kemampuan yang aku punya, tidaklah cukup menjamin untuk
tiba di titik kesuksesan yang aku impikan. Aku sadar akan adanya perubahan,
sedikit. Namun, pada dasarnya aku masih merasa jauh dari titik kepuasan. Aku
justru membanding-bandingkan hidupku dengan hidup orang lain. Melihat kehidupan
orang lain, membuatku merasa telah gagal. Aku gagal dengan segala usaha yang
telah aku lakukan.
Masih
berapa kalikah aku harus gagal?
Aku sudah mencoba melakukan yang terbaik dan tetap
masih gagal. Apa lagi yang harus aku lakukan. Berapa kali lagi aku harus
mencobanya untuk tiba pada batas akhirnya. Puluhan, ratusan ataukah ribuan kalikah
hingga aku tak sanggup untuk menghitungnya lagi. Berapa kali aku harus menerima
kenyataan bahwa aku tidak berbakat dalam bidang ini. Mungkinkah ini bukan jalan
hidupku. Lantas, haruskah aku melangkah mundur?
Dan ternyata,
Pertanyaan pentingnya bukan berapa kali aku harus
gagal, melainkan berapa kali aku harus bangkit lagi saat gagal. Jika aku bisa
gagal 1000x, maka aku harusnya memastikan diriku untuk bisa bangkit 1001x.
Mengapa
kegagalan masih bersamaku?
Masih
sanggupkah aku sabar dan bangkit menjalaninya?
Akankah
kesabaranku ini memiliki batasan?
Untuk kegagalan yang masih setiap menemaniku, aku
akan terus berusaha untuk menerimamu. Aku akan senantiasa berusaha untuk tidak
mengutuk siapapun, melainkan diri sendiri. Berusaha untuk tidak berprasangka
yang tidak-tidak. Berusaha untuk tegar serta menahan tangis. Berusaha untuk
menerima kenyataan bahwa aku masih dalam perjalanan untuk sampai ke puncak yang
aku impikan. Ini hanyalah salah satu ujian kehidupan bagiku. Aku tidak harus
jatuh terpuruk, melainkan aku harus bangkit. Karena aku masih dituntut untuk
bersabar, lagi dan lagi. Bersabar dalam berusaha, berdoa dan menanti datangnya
ataupun terwujudnya, yang terbaik.
Dan sesungguhnya,
Kesabaran tidak memiliki batasan. Sebesar apapun ujian
kehidupan tetap akan luluh oleh kesabaran. Selemah apapun fisik seseorang,
semiskin apapun seseorang, sekali dihatinya punya rasa sabar, dunia tidak akan
mampu menyakitinya.
Komentar
Posting Komentar