Pernah kah kamu digertak langsung
oleh seseorang dihadapan orang banyak?
Pernah kah kamu dimarahi langsung
oleh atasanmu di hadapan bawahanmu?
Pernah kah kamu disalahkan
sementara kamusendiri sudah merasa benar?
Saya
PERNAH mengalami hal demikian!
Sesungguhnya,
salah satu hal yang mengerikan bagi saya adalah kena marah. Lebih tepatnya, hal
yang menakutkan. Saya paling tidak tahan jika dimarahi dan digertak dengan
suara yang keras. Saya bisa langsung down
karena hal seperti itu. Jika seseorang melakukan hal demikian pada saya,
rasanya sesak di dada dan sakit di hati. Bahkan, terkadang saya langsung
menangis.
Hmmm…mungkin
bagi orang kebanyakan, itu adalah hal yang biasa dan lumrah. Dan, mungkin saya
dianggap sebagai orang yang lemah dan cengeng. Tapi, itulah saya! Dalam keseharian
saya, mungkin saya selalu dan senantiasa terlihat fine-fine saja, tersenyum dan tertawa. Oleh karenanya, akan terdengar sangat tidak mungkin
bagi saya untuk menangis hanya karena kena marah atau gertakan. Yah, memang benar.
Saya terlihat keras hati dan tegar dari luar. Namun, itulah sisi lemahnya saya
yang jarang terlihat.
Kali
itu, di tengah-tengah kesibukan bersama rekan-rekan kantor, saya mendapatkan
panggilan berkali-kali. Dengan lembut saya mengatakan, “Iye, puang”, saya berjalan ke ruangan, dari mana panggilan tersebut
berasal. Saya sendiri heran dan bingung. Ini untuk pertama kalinya saya
dipanggil olehnya. Tidak pernah sebelumnya. Saya pun berpikir, apakah gerangan
kesalahan saya. Dan, mungkin rekan-rekan kantor juga memiliki pemikiran yang
sama dengan saya.
Dalam
ruangan yang terbilang sempit tersebut, kami berempat. Beliau, asistennya, seorang
mahasiswa dan saya sendiri. Beliau pun mempertanyakan mengapa saya memberikan
nilai C kepada mahasiswa tersebut.
Kenapa
kasi nilai C untuk perbaikan? Buat apa perbaikan kalau masih nilai C? Kasi
nilai B! Mengapa? Kau keberatan? Saya tanya, apakah kamu keberatan kalau
nilainya diganti jadi B?
Itulah
rentetan pertanyaan yang diajukan pada saya dengan keras yang terdengar oleh
semua orang yang ada di dalam kantor tersebut. Rentetan pertanyaan yang membuat
saya speechless dan down. Saya tidak tahu harus memberikan
jawaban apa atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang kedengarannya
bernada protes tersebut, sungguh sangat menjatuhkan mental saya. Membuat saya
merasa sesak nafas tiba-tiba. Hati saya terasa sakit dan menangis. Namun kenyataannya,
yang terlihat adalah senyuman kebingungan.
Saya
merasa kalau itu bukanlah sebuah kesalahan. Saya hanya berusaha adil terhadap
mahasiswa saya. Saya berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk mahasiswa yang
telah melakukan yang terbaik. Sebaliknya, untuk mereka yang melakukan hal
buruk, mereka yang tidak peduli dengan proses perkuliahan, mereka yang berpikir
absen berkali-kali bukanlah masalah, mereka yang tidak pernah memasukkan tugas-tugas
yang saya minta, mereka yang nilai mid
test dan final testnya anjlok,
saya memberikan hal yang pantas mereka dapatkan. Akan tetapi, siapa sangka,
ternyata bagi atasan saya itu adalah sebuah kesalahan.
Saat
itu, saya hanya bisa mengungkapkan kalau sesungguhnya itu bukanlah nilai
perbaikan, melainkan nilai yang saya berikan padanya setelah sebelumnya saya
berikan nilai tunda (T).
Menurut
saya, nilai C itu adalah nilai yang pantas dan sesuai untuknya. Itu saya
berikan karena dia sudah menghadap pada
saya. Andai dia pantas mendapatkan nilai B, why
not? Jujur, waktu saya ingin melingkari salah satu huruf dalam berita acara
yang dia sodorkan pada saya, saya sempat berpikir sejenak, “Apa saya berikan nilai B saja?” Namun,
saya kembali teringat dengan teman-temannya yang saya berikan nilai B. Umumnya,
mereka rajin masuk dalam kelas saya, tugas-tugasnya pun masuk semua. Alangkah tidak
adilnya saya jika memberikan nilai yang sama dengannya, sementara dia
keseringan absent dan tak satupun
tugasnya masuk. That’s why, saya
melingkari C dan berpikir kalau itu adalah keputusan paling adil menurut saya.
Namun,
ternyata TIDAK. Itu SALAH, menurut atasan.
Well,
Setelah
melontarkan pernyataan singkat yang tidak berefek, saya pun menerima lembaran
berita acara yang atasan saya sodorkan. Saya menghapus lingkaran saya pada
nilai C, dan melingkari ulang nilai B. saya mengganti nilai mahasiswa tersebut.
Rekan-rekan
bahkan seorang pejabat di kantor tersebut, yang sebelumnya saya mintai
pertimbangan mengenai pemberian nilai, geleng-geleng mendengar dan melihat
kejadian tersebut. Mereka berpikir yang sama dengan saya, untuk tidak
memberikan nilai B bagi mahasiswa yang tidak pantas mendapatkannya. Mereka memprotes
ketidakberdayaan saya. Mereka meminta saya untuk melawan. Hanya, ada beberapa
rekan yang setuju saya menuruti permintaan atasan.
Namun,
apa daya saya. Saya tidak sanggup melawan. Meskipun saya berpikir tidak
melakukan kesalahan. Meskipun saya merasa telah malakukan hal yang benar. Saya tidak
bisa mempertahankan pemikiran dan perasaan saya. Mental saya telah jatuh begitu
ditegur. Saya tidak bisa lagi berpikir jernih dan lebih jauh.
Saya
menentang kata hati saya. Saya mengatakan, “It’s
okay” di hadapan rekan-rekan saya. Saya tersenyum dan menurut, meski hati
saya tidak menginginkannya. Saya menerima dan memaafkan segala ungkapan rasa
emosi dari atasan saya. Saya memperlihatkan ketegaran padahal hati saya
menangis. How weak and stupid I am!
***
Refleksi diri:
Yaa
Allah…
Maafkanlah
orang yang telah menyakiti hati saya
Saya
mengerti akan ungkapan emosi yang tak terkendali
Yaa Allah...
Ikhlaskanlah saya dalam menerima rasa sakit ini
Jangan biarkan air mata tak terima saya berjatuhan
Yaaa
Allah…
Tabahkan
dan tegarkan hati saya
Saya
berpikir telah melakukan hal yang adil dan benar
Namun,
ternyata itu masih salah dalam pandangan orang lain
Mohon
kuatkan mental saya
Jangan
biarkan air mata saya menetes
Hanya
karena suatu teguran di hadapan orang banyak
Mohon
kuatkan diri ini
Jangan
biarkan saya jatuh tersungkur
Jangan
biarkan saya putus asa dan lari dari tempat ini
Komentar
Posting Komentar