FIND A JOB
and
Looking
for DOCTORAL PROGRAM Scholarship
Selesai
kuliah S2, itulah dua hal pertama yang muncul di benak saya. Dua hal yang
menjadi prioritas utama saya ke depannya.
Kurang
lebih 4-5 bulan terakhir di tahun 2015, berbagai tawaran lowongan kerja sebagai
dosen datang silih berganti. Namun, secara keseluruhan, kampus-kampus tersebut
adalah PTS yang perlu memenuhi kuota dosen mereka. Ada yang sudah beroperasi
dalam beberapa tahun, ada yang baru beroperasi dan ada juga yang belum
beroperasi alias masih dalam tahap pembangunan dan pengurusan izin operasional.
Sebagai
tempat untuk bernaung nantinya, tentunya perlu pertimbangan yang matang sebelum
memasukkan lamaran ke kampus-kampus tersebut. Saya pun memilih beberapa
diantaranya, seperti UNIBOS, UMB, STKIP RAMA GLOBAL dan UIM. Sayangnya, untuk
menjadi dosen di UNIBOS, tidaklah mudah seperti yang saya bayangkan.
Kualifikasi saya sebagai lulusan magister program tidak bisa dijadikan bahan
pertimbangan bagi kampus tersebut. Saya jatuh di tahap awal (seleksi berkas).
Pengumuman itu keluar saat saya berada di Bau-Bau dalam rangka tinjau lokasi
kampus UMB dengan teman-teman. Sebagian teman-teman yang ke Bau-Bau, ternyata
juga daftar di UNIBOS dan berhasil lulus seleksi berkas. Pulang dari Bau-Bau,
saya daftar di STKIP RAMA GLOBAL dan UIM. Keduanya atas rekomendasi teman,
juga. Saya diterima di keduanya dan setelah mempertimbangkan berbagai hal, saya
memilih UIM.
Kenapa
UIM?
Saya
memilih UIM karena berbagai pertimbangan, antara lain lokasi dan status kampus,
dalam hal ini akreditasi kampus. Alhamdulillah, NIDN saya keluar sebagai DTY
FKIP UIM di awal tahun 2016. Semester genap 2015/2016 adalah tahun akademik
saya. Saya mendapatkan SK mengajar dan mengampuh 3 MK, ESP dan CCU untuk
program studi Pendidikan Bahasa Inggris dan Bahasa Inggris II untuk program
studi PGSD. Semester dimulai di bulan Maret dan berakhir di bulan Juni.
Dalam
kurung waktu 4 bulan, saya beraktivitas di UIM. Tiap minggunya, saya ke kampus
3x, berpakaian rapi dan sopan. Biasanya, saya jalan kaki ke luar dari NTI, naik
pete-pete ke UIM dan jalan kaki lagi masuk ke FKIP. Beruntungnya, sesekali ikut
teman yang kebetulan jadwalnya bersamaan dan kelas saya kebanyakan di kelas
Pascasarjana yang letaknya di bagian depan kampus UIM. Jadinya, agak sedikit
meringankan. Namun ruginya, saya jarang masuk kantor. Datang, ngajar dan
pulang. Sosialisasi dengan rekan-rekan dosen kurang. Update informasi pun
terkadang telat. Meski demikian, saya bisa melalui semuanya dengan baik.
Menjalankan
kewajiban dalam kurung waktu beberapa bulan tersebut, tentunya sebagai dosen,
saya juga kepikiran akan hak. Hak saya sebagai dosen, tak kunjung dibayarkan
hingga akhir semester. Sungguh suatu pengabdian, kerja tak dibayar. Pergorbanan
waktu, tenaga dan pikiran, tak terbalaskan. Hanya ada satu hal yang bisa saya
lakukan, yaitu sabar dan tidak banyak berharap.
Semester
berakhir, penantian pun berlanjut. Memasuki bulan Agustus, desas-desus mengenai
hal tersebut, bermunculan. Katanya, sedang dalam proses pengurusan Ampera dan
akan segera keluar. Mengenai nominalnya pun, tidak jelas. Alih-alih berpikir
tentang berapa nominalnya, intinya keluar dulu deh. Saya juga tidak mau berharap
banyak, takutnya akan kecewa pada akhirnya. Beberapa rekan-rekan dosen baru
seperti saya pun berpikir demikian.
Dan,
setelah penantian panjang selama ± 6 bulan, akhirnya cair. Pada hari selasa (23/8), GAJI PERTAMA saya
sebagai dosen dengan status DTY tak ber-SK di salah PTS, UIM, terbayar. Seperti yang saya
pikirkan, nominalnya tidak banyak (see
the picture_above). Ditambah dengan bayaran untuk 1 MK dengan bobot 2 SKS
dari rekan dosen yang saya ampuh, Rp 300.000. Hmmm, ya, itu semua tak sebanding
dengan status dan pengorbanan yang telah saya lakukan. Bahkan, mungkin termasuk dalam kategori
lebih besar pasak daripada tiang. Namun, saya bersyukur dengan apa yang saya
terima. Sedikit banyaknya, itu adalah murni hasil jerih payah saya. Rezeki dari
Allah Swt. yang harus saya syukuri.
Sesungguhnya, itu bukanlah gaji pertama yang saya dapatkan sebagai lulusan magister. Sebelumnya (bulan
Ramadhan), saya kerja selama 6 hari dan dibayar sebesar Rp 600.000. Selain itu,
berkas yang saya masukkan di UMB juga dibayar sebesar Rp 1.100.000 dalam 2x
pembayaran.
Dari
semua itu, saya berpikir bahwa mendapatkan pekerjaan dengan bayaran tinggi, bukanlah
hal yang mudah. Selama ini, saya tahu dan yakin, orang di sekeliling saya
berpikir bahwa dosen adalah salah satu pekerjaan yang membanggakan (mungkin IYA untuk Dosen Tetap PNS). Mereka
tidak pernah tahu, ada apa dibalik status dan profesi tersebut. Saya pun hanya bisa
memaklumi anggapan mereka tanpa memberitahu mereka kenyataannya. Biarlah, hanya
saya, rekan-rekan dan Allah yang tahu fakta di lapangan. Tiap kali di puji
dengan status saya, saya hanya tersenyum, merendah dan berharap doa yang
terbaik.
Dibandingkan
dengan pekerjaan lainnya (di luar kampus), gaji dosen memang jauh tertinggal.
Saya pun tahu hal tersebut jauh sebelum mendaftrakan diri untuk menjadi dosen.
Untuk alasan money oriented, jangan
pernah menjadi dosen. Target dan harapan takkan pernah terwujud jika demikian.
Namun, apa yang saya pikirkan adalah jenjang karir. Saya tahu, jika saya kerja
di English or Learning Course, saya
bisa mendapatkan berkali-kali lipat dari gaji saya sebagai dosen di UIM per
bulannya.
And, it’s fact. Awal Agustus kemarin, saya
menngisi waktu luang saya dengan mengajar di salah satu bimbingan belajar.
Tidak padat, hanya 2-3x dalam seminggu. Tiap pertemuannya, hanya berkisar 1,5-2
jam. Kerjanya santai, di sore/malam hari dan dengan orang-orang baik. Dan,
Alhamdulillah, di awal bulan ini (3/9), I got the fee. Di luar dugaan, saya
mendapatkan jauh lebih banyak dari pada apa yang saya pikirkan dan harapkan.
It’s Rp 507.500. Yeah, it’s out of my
expectation. Karena sebelumya, teman yang merekomendasikan saya ngajar di
tempat tersebut, sudah memberitahukan kalau gajinya sedikit. Saya pun oke-oke
saja. Intinya, saya kerja, waktu kosong saya terisi dan tidak bête lagi karena
harus stay di rumah sepanjang waktu.
See!
Apa
yang saya dapatkan di kampus dengan yang saya dapatkan di luar kampus, memang
tidak bisa dibandingkan. Bayaran seminggu/sebulan kerja di luar kampus, lebih
banyak daripada mengajarkan 2SKS MK di kampus.
But, it’s okay. Saya sudah memilih dan saya harus istiqmah dengan pilihan saya. Dimana pun
itu, saya hanya ingin berbagi dan mengamalkan ilmu yag telah saya dapatkan.
Masalah fee, biarlah menjadi urusan
kedua. Saya percaya, dengan ikhlas bekerja dan berbagi, Allah Swt. akan
meridhoi dan memberikan balasan yang setimpal. Pada dasarnya, masalah rezeki memang takdir atau ketentuan Allah yang
tidak bisa diprediksi oleh manusia biasa tentang kapan datanngnya. So, yang
harus saya lakukan saat ini adalah bersyukur, berikhtiar, dan berdoa. Only that!
I
believe that
“GIVE SINCERELY AND BE THANKFUL
FOR THE LESS
&
YOU WILL GET MORE AND MORE.”
Selamat Siang Bu Agussatriana,
BalasHapusSaya sedang blogwalking dan menemukan blog anda. Wah semoga karier sebagai dosennya sukses.
Saya Soraya dari http://serumah.com.
Saat ini trend berbagi ruangan/roomsharing sangat gencar. Kami berinisiatif untuk membuat situs pencari teman sekamar/roommate agar orang-orang yang ingin menyewa rumah dapat berbagi tempat tinggal dan mengurangi biaya pengeluaran untuk tempat tinggal. Berawal dari ide tersebut, website serumah.com diluncurkan pada awal tahun 2016.
Saat ini saya membutuhkan bantuan anda untuk menuliskan artikel review mengenai serumah.com di situs blog anda. Kami sangat menghargai jika Anda bersedia untuk memberikan review terhadap website kami dan menerbitkannya di blog anda.
Mohon hubungi saya jika ada pertanyaan lebih lanjut. Saya ucapkan terima kasih atas waktu dan kesempatannya.
Soraya F.
Cataga Ltd.
soraya.serumah@gmail.com
http://serumah.com/