25.08.2016
Tak
terasa waktu berlalu begitu cepat. Di hari Kamis, seorang adek yang saya kenal
sejak tahun 2011, tengah berbahagia. Dia berhasil memakai toga pertamanya
setelah menempuh masa studi selama ± 4 tahun. Dia tiba di perayaan
kesuksesannya dan berbagi kebahagiaan dengan semua orang terdekatnya. Entah itu
keluarga, sahabat, maupun teman-temannya.
Saya
sendiri, pada dasarnya juga kurang tahu secara pasti termasuk dalam kategori yang mana. Secara biologis, saya bukanlah
keluarganya. Teman? Sahabat? Entahlah! Meski demikian, untuk saya secara
pribadi, dia adalah seorang adek perempuan tak sedarah, yang bisa dekat dan
tahu lebih banyak mengenai saya melebihi saudara kandung. Dan, itu fakta.
Saya
senang, bahagia, bangga, terharu sekaligus sedih melihat senyum bahagianya
tersebut.
Senang dan bahagia karena ia
sukses menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Bangga karena dia lulus
dalam jangka waktu yang singkat dan termasuk dalam kategori lulusan terbaik.
Tak hanya itu, masa kuliahnya, tidak dia habiskan di bangku kelas (ruang kuliah) saja,
melainkan dengan sejumlah ukiran prestasi yang sungguh sangat membanggakan. Terharu
karena saya teringat dengan proses yang dia harus lalui hingga bisa
terdaftar sebagai mahasiswa. Sedih, karena saya yang telah
menganggapnya sebagai adek, belum mampu memberikan hadiah untuknya. Tidak
seperti keluarga, sahabat, dan temannya yang datang dengan boneka, buket bunga
dan sebagainya, saya hanya datang dengan tangan kosong. Saya hanya sanggup
mengatakan, “Congratulation, dek!”
Maaf dek, saya
bukanlah orang sukses yang bisa menghadiahkan sesuatu untukmu. Saya masih dalam
perjalanan panjang menuju ke titik tersebut. Sejauh ini saya hanya sanggup datang menunjukkan diri saya dan berbagi “senyum” sebagai sedekah dan hadiah yang paling sederhana dan murah, hehehe!
Sesungguhnya,
melihatnya tersenyum bahagia dan mendengar sejumlah prestasi dan kesuksesan
yang telah dia ukir, saya sungguh sangat bangga dan kagum. Bahkan, saya merasa
kalau dia lebih sukses dan berhasil menjadi yang terbaik, dibandingkan dengan
apa yang saya sendiri pernah raih sebelumnya. Saya merasa bukan apa-apa lagi untuknya, dan bahkan tidak semestinya lagi untuk memberikan saran ataupun masukan untuknya agar menjadi yang terbaik. Karena, dia
sudah melakukannya dan berhasil. Sekali lagi, “SELAMAT atas KESUKSESANnya, Adekku sayang! I'm proud of You!:) :*
Anyway, melihat
kenyataan bahwa kami masih bisa berkumpul dan berbagi kebahagiaan bersama. Saya
teringat akan masa lalu. Saya teringat saat dimana pertama kali kami ketemu,
hingga menjalin dan terus menjaga silaturrahmi hingga saat ini.
Flashback!
Kala
itu, di sebuah acara, saya selaku mahasiswa KKN yang tengah bersosialisasai
dengan warga setempat. Saya bersama teman-teman mahasiswa, terlibat dalam
perbincangan lepas. Topiknya pun berbagai hal, salah satunya tentang perkuliahan.
Seingat saya, orang tuanya (Mammy) sempat cerita bahwa dia (Rina Delfianti)
sudah tamat SMA dan berhasil lulus dalam tes penerimaan mahasiswa baru di salah
satu akademi. Namun, karena dia lulus di jurusan yang tidak dia inginkan, dia
pun berencana untuk melepasnya. Mendengar hal tersebut, dalam hati, saya pun
berpikir demikian. Kalau memang kita tidak menyukai sesuatu, mengapa kita harus
mengambilnya. Momen singkat tersebut
berakhir, dan kami belum kenal.
Terus,
kenalnya kapan?
Perkenalan
itu terjadi saat, kami (Ridel dan saya) ketemu kembali di tempat yang berbeda,
di lapangan dan panggung kesenian. Standard,
tukar nomor handphone dan saling
komunikasi secara intens. Entah
mengapa, tidak seperti biasanya, saya bisa menjadi lebih dekat dengannya dengan
mudah. Bahkan, berbagi kisah dengannya hingga yang sifatnya personal. Luar biasanya, dia juga bisa
membaca saya secara psikologis padahal kami baru kenal. Hingga akhirnya, dia menghadiahkan
saya sebuah buku psikologis, yang berjudul, “Rahasia Cewek.” Di akhir kebersamaan masa KKN, kami pun saling
menuliskan pesan dan kesan. (Jadul banget kedengarannya, tapi yaaaa… itu
berkesan hingga saat ini)
Masa
KKN berakhir, komunikasi dan silaturrahmi tetap terjalin. Dia yang saat itu,
tidak ada aktifitas yang padat (karena istirahat belajar), membuat kami bisa
SMS-an tanpa khawatir saling mengganggu. Merasa dia smart dan talented, saya
berpikir tidak seharusnya berhenti belajar. Saya pun terus dan tanpa henti
memberinya motivasi agar melanjutkan kuliah. Tidak patah semangat apalagi putus
harapan.
Tahun
berikutnya, dia pun mencoba ikut tes lagi. Memilih salah satu jurusan di MIPA
dan FSD di Universitas Negeri Makassar. Dan, Alhamdulillah, dengan mudahnya,
dia berhasil lulus di jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Seni dan Desain.
Sesuai
talentnya, dia mampu melakukan yang
terbaik di kampusnya. Waktu terus berlalu, dia pun menjadi semakin sibuk. Tak
hanya sibuk kuliah, dia malah lebih sibuk beraktivitas. Tentunya, aktivitas
yang bermanfaat, yang membuatnya mampu menginjakkan kaki di beberapa kota di
Indonesia bahkan ke luar negeri. Pulang-pulang pun, tidak dengan senyum
kekecewaan dan kegagalan, melainkan dengan senyum kelelahan dan kebahagiaan. Dia
kembali dengan membawa prestasi bagi dirinya sendiri maupun organisasi
tempatnya bernanung. Prestasi yang mampu mengharumkan namanya hingga nama
kampus, dan membanggakan bagi orang tua dan segenap orang-orang terdekat yang
mengenalnya.
Karena
kesibukannya tersebut, intensitas pertemuan kami pun menjadi semakin berkurang.
Meski pada dasarnya, kami sama-sama stay di
Makassar. Pertemuan itu menjadi sangat sulit untuk diwujudkan. Kesibukan
menjadi sangat jahat bagi kami, hingga tidak bisa dengan mudahnya mempertemukan
kami dalam momen-momen tertentu. Bahkan terkadang saya berpikir, “Mungkin dia sudah melupakan saya.”
Padahal,
faktanya tidak demikian. Itu semua murni karena kesibukan.
Yah,
saya pun memahami dan mengerti.
Dia
sibuk berproses untuk menjadi yang terbaik.
Flashback End!
Dan,
Kini,
dia telah berhasil.
Berhasil
menjadi yang terbaik.
Terbaik
sebagai akademisi dan aktivis.
Dan,
Syukur
walhamdulillah,
Kami
tidak saling melupakan.
Silaturrahmi
diantara kami masih terjalin,
Kami
bisa dipertemukan kembali dalam momen bahagia ini.
Kami,
Sudah
seperti keluarga,
Saling
berbagi kebahagiaan dengan cara sederhana,
Tersenyum
bahagia bersama, makan bersama, dan berfoto bersama.
Terima
kasih atas kebersamaannya,
Terima
kasih sudah menganggap saya seperti keluarga,
Terima
kasih untuk semuanyaaaa! :)
Yaa
Allah,,,
Jagalah
silaturrahmi kami,
Dan,
jadikanlah kami sister sekaligus baiti fillah!
Aaaamiiiinnnn…
Yaaa Rabbal
Aaalamiiinnn…..!!!
Selamat dan Sukses atas Wisuda Sarjananya
RINA DELFIANTI, S.Pd.
Semoga berkah dan bermanfaat ilmunya
Komentar
Posting Komentar