Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Entah mengapa,
saya terus kepikiran dengan semua yang teman saya katakan. Teman, yang lama
tidak komunikasi ataupun ketemu, tiba-tiba menelpon. Saya pun tidak bisa
langsung mengenali suaranya. Hanya bisa menerka tapi tidak begitu yakin sampai
akhirnya dia memberitahu saya. Belum lagi, niatnya yang ingin mengelabui saya
dengan berlagak seakan-akan tata usaha kampus yang menanyakan apakah saya
datang mengajar atau tidak padahal jelas-jelas hari sabtu. Seketika saya
bingung, ditambah dia mengatakan “Bapak”. Dalam hati saya berpikir kalau dia
orang salah sambung. Kurang lebih seperti ini percakapan awal kami.
“Halo.
Assalamu’alaikum.”
“Waalaikum
salam. Dengan Bapak Agus?”
“Hm,
Pak Agus?”
“Oh,
Ibu Agus.”
“Ya.”
“Tidak
datangki mengajar hari ini, Bu?”
“Hm.
Saya tidak ada jadwal mengajar hari ini. Dengan siapa ini?”
“Siapa
kira-kira?”
“Siapa
di?”
“Coba
tebak dari suaraku!”
“Hmmm…Maaf,
tidak saya kenali suarata.!”
“Menyerah?”
“Hmmm….Iya.”
“Adi.”
“Oh.
Kau Adi. Pantas kayak kenal tapi tidak kepikiran itu kau.”
Ya. Itulah inisiasi
pembicaraan kami. Setelah itu saling menanyakan kabar, posisi dan kegiatan saat
ini. Hingga sampai pada topik yang umum bagi orang yang lama tidak ketemu. Apa
lagi kalau bukan tentang pernikahan. Dia mengira saya sudah menikah dan tidak
mengundangnya. Seketika saya menanggapinya dengan mengatakan,
“Masa’ saya menikah tanpa mengundangmu. Ngak laaahhh!”
“Masa’ saya menikah tanpa mengundangmu. Ngak laaahhh!”
“Siapa
tahu, kah lama tidak ada kabar.”
“Bisanya
itu. Kalau begitu, ku undang memang maki’ pale’ sekarang. Awas memang kalau
tidak datang.”
“Kapan
kah?”
“Belum
tahu.”
“Ih!”
“Secara…calonnya
saja tidak ada.”
Nah, setelah
percakapan itu, dia pun berpikir kalau ada yang tidak beres dengan masa lalu
saya. Dia menerka-nerka kalau saya telah tersakiti oleh cinta pertama. Dia
tidak yakin itu karena pacar pertama melainkan karena cinta pertama. Saya pun
menanggapi pikirannya itu dengan mengatakan padanya bahwa seakan-akan dia itu
seorang peramal. Bagaimana tidak, tidak ada yang salah dari anggapannya itu.
Dia pun menanggapi
balik pernyataan saya dengan segenap nasehat, yang sangat logis. Dari semua
nasehatnya itu, hampir semuanya telah saya dengarkan sebelumnya. Hanya saja,
dia tidak melontarkan nasehat begitu saja, melainkan disertai dengan analogi-analogi
yang meyakinkan. Tidak ada hal aneh yang dia katakan yang mampu membuat saya
membantah ataupun menentangnya. Saya pun mengiyakan semuanya sembari tertawa karena
merasa seakan-akan saya dijebak olehnya. Hingga saya pun beranggapan kalau
tujuannya menelpon hanya untuk mencari tahu masa lalu saya. Bahkan, menganggap
kalau sebelum dia menelpon, dia telah men-scroll
timeline sosmed saya. “Tidak begitu. Tidak ada niat sama sekali yang
seperti itu,” elaknya.
Selanjutnya, dia
pun meminta saya untuk memberikan respon dengan tepat. Dia berharap saya
berubah. Berniat mengambil langkah menuju ke arah yang lebih baik. Dia tidak
ingin saya terus-terusan larut dalam masa lalu. Dia tidak ingin saya menjadikan
tangisan sebagai obat. Dia ingin saya menjauhkan diri dari sosok yang bermental
korban hingga tidak menciptakan korban yang lain. Menurutnya, harapan saya akan
datangnya sosok yang mampu mengubah saya nantinya terdengar percuma (agak
mustahil) tanpa adanya niat untuk berubah dari saya pribadi terlebih dahulu.
Pada dasarnya, hal
itu memang benar, bahkan dalil tentang itu pun ada. Tanpa berpikir panjang,
saya pun mengutarakan semuanya, tentang rasa sakit yang meninggalkan trauma
mendalam itu. Mengungkapkan tentang hilangnya “kepercayaan” saya terhadap
laki-laki. Tentang ketidakberanian-dan-ketidakinginan saya untuk membuka diri
lagi. Hingga akhirnya, saya meminta pendapatnya sebagai laki-laki tentang suatu
hal yang selama ini masih belum jelas bagi saya.
Dia pun menanggapi
semuanya dengan sangat baik dan bijak. Sebagaimana Einstein yang tidak pernah
putus asa dan menyerah untuk mencoba hingga berhasil.Baginya, tidak ada yang
tidak mungkin selama kita masih memiliki keinginan untuk mencoba. Begitupun dengan
hidup, sekali gagal, bukan berarti kita harus berhenti, melainkan terus mencoba
hingga berhasil. Menurutnya, tidak pantas bagi saya untuk tenggelam dalam duka.
Seharusnya saya bangkit dan mencoba untuk menemukan yang lebih baik. Tidak
seharusnya saya menciptakan korban lain. Bahkan katanya, sangat tidak adil atau
egois bagi saya untuk mengambil kesimpulan hanya dengan satu sampel. Dalam ilmu
statistika, itu sangat tidak refresentatif menurutnya. Sungguh sangat egois
bagi saya untuk menyamaratakan sifat semua orang hanya dengan melihat sifat
seseorang.
Dia juga menyadarkan
saya bahwa segala hal yang terjadi pada saya itu tidak lain karena kehendakNya.
Entah itu baik ataupun buruk, saya tidak bisa lari dari semua takdir tersebut. Jika
baik, seharusnya saya bersyukur, jika buruk seharusnya saya bersabar karena ada
hikmah tersendiri dibalik semua itu. Jadi, sebaiknya saya menjadikan segala
yang buruk ataupun kegagalan itu sebagai pelajaran.
Terakhir, dia meminta
saya untuk percaya bahwa pasangan saya itu adalah cerminan diri saya sendiri. Jika
pada kenyataannya saya dipertemukan dengan orang yang tidak baik, mungkin saya
telah keliru menganggap diri saya itu baik. Jadi, alangkah lebih baik jika saya terus
memperbaiki diri. Menjadi lebih baik dari diri saya yang dulu ataupun sekarang
ini. Dan, menjadikan shalat dan sabar sebagai obat saya.
Terkait dengan
pertanyaan saya tentang sudut pandangnya sebagai laki-laki, responnya cukup
baik dan membantu. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan balik terkait dengan hal
yang saya tanyakan, menurutnya, sikap seseorang yang saya tanyakan itu
terdengar baik dan akan menunjukkan sesuatu yang lebih baik di waktu yang tepat
nantinya. Namun, katanya juga, saya tidak boleh terlalu terlena atau percaya
100% dengan tindakan yang seperti itu. Intinya, tanggapi dengan baik dan bijak!
Overall, nasehatnya itu adalah sebagai
berikut:
1.
Jangan
larut dalam duka dan berusahalah untuk menghilangkan trauma!
2.
Jangan
jadikan tangis sebagai obat, melainkan shalat dan sabar!
3.
Jangan
menimbulkan korban lain akibat masa lalu yang kelam!
4.
Jadikanlah
masa lalu sebagai palajaran untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang!
5.
Behentilah
berasumsi yang tidak refresentatif!
6.
Berusahalah
untuk mencari hikmah dibalik semua peristiwa!
7.
Tetaplah
semangat dan terus memperbaiki diri!
That’s
all!
Anyway,
thanks a lot brother for comin’ up with a bunch of preach and lecture. Hehehe!
So
far, I just keep them secretly in my heart but don’t know why I can tell you without lyin' at all.
Hmm,,,I
think that it caused by your excellent way in asking questions. Or whatever!
You
know what???
You
make me be extrovert in a moment.
Basic
U R!!! (infrml)
Hahaha
:D
Komentar
Posting Komentar