Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Awal pekan terakhir di bulan Januari, tanpa sengaja saya
membuka news feed di BBM dan melihat
ada teman yang menuliskan personal message,
“Alhamdulillah, one step closer. Pas
tong lagi hari seminarku :( untungnya pagiji
tesnya.” Seketika saya langsung ngeh.
Saya mengerti apa yang dia maksud. Yah, itu tentang hasil tes MT sebelumnya
yang akan berlanjut ke tahap selanjutnya. Saya pun langsung membuka Display Picture dari teman itu. Dan sadly, saya tidak menemukan namaku
ataupun nama dari teman lainnya yang juga join,
lulus dalam tes tahap kedua tersebut.
Sulit dipungkiri, akan kehadiran rasa kecewa itu.
Rasanya saya tidak terima dengan pengumuman tersebut. Dengan kualifikasi yang
ada, ternyata saya belum memenuhi standar mereka (LC). Hmm,,,mungkin saya memang tidak memiliki hal yang patut untuk
dipertimbangkan ya. Okay! Akan
tetapi, bagaimana dengan teman saya yang lainnya. Menurut saya, mereka sudah
melebihi kualifikasi.
Saya pun berpikir bahwa sepertinya ada hal yang aneh dengan
proses penerimaan tersebut. Mengapa? Saya tidak habis pikir, beberapa orang
yang saya pikir akan lulus dengan mudahnya ternyata gagal juga. Ok lah kalau saya tidak memenuhi
standar, tapi masa iya tak satupun diantara kami, lulus. Padahal, begitu
nama-nama kami ada dalam list untuk
ikut tes tahap kedua itu, saya sempat berpikir bahwa “Apakah saya sanggup menjadi saingan teman-teman saya yang jauh lebih
berpengalaman? Jangankan peserta yang lainnya, teman saya jauh lebih menakutkan
untuk ditandingi dibandingkan dengan orang lain.”
Diluar dugaan, ternyata apa yang saya takutkan, berbeda
dengan kenyataan yang muncul. Kami semua gagal. Orang lain, yang bahkan tidak
begitu mengganggu pikiran saya, bahkan tidak sampai terpikirkan, malah menjadi
pemenang dalam pertarungan kemampuan tersebut. Mereka adalah kandidat yang LC
butuhkan. Sepertiga dari peserta test tahap kedua sebelumnya, berhasil lulus
dan berhak mengikuti tes tahap selanjutnya. Mau tidak mau, kami harus terima
kenyataan pahit saat itu.
Dari kegagalan tersebut, saya pribadi mencoba untuk
berpikir lebih baik. Meski saya tidak sanggup menerima kenyataan begitu saja,
perlahan pemikiran saya pun terbuka dengan sendirinya. Saya mencoba untuk
mengambil hikmah dari kegagalan tersebut. Saya berusaha untuk belajar dari
pengalaman saya sendiri. Mencoba berpaling dari segala jenis pikiran negatif
yang sempat menggerogoti otak saya sejenak.
Honestly,
begitu saya memutuskan untuk membawa berkas ke LC bersama teman, saya yakin
akan kelulusan. Saya optimis kalau saya pasti berhasil dan mampu bekerja di LC.
Bahkan, saya sempat berharap dengan salah seorang teman yang sudah lebih dahulu
bekerja di LC kalau kami akan menjadi teman sekantor di masa yang akan datang.
Dia pun mengamini harapan saya itu. Hal lain yang membuat saya yakin adalah
usaha dalam mengikuti proses seleksi tersebut. Dengan rasa optimis yang begitu
besar, saya mengambil keputusan untuk mengikuti proses seleksi di menit-menit
terakhir dari pada deadline
pendaftaran. Saat itu, kondisi lagi tidak begitu fit. Bahkan bisa dibilang lemah. Sempat sakit di malam harinya.
Hanya saja demam mereda di pagi harinya. Namun, semangat yang sempat hilang
kembali membara karena ajakan teman. Ketidaklengkapan berkas pun tak
menghalangi langkah saya. Dengan segenap daya yang tersisa saat itu, kami
mengurus segalanya dan menyetor berkas 15 menit terakhir sebelum kantor tutup.
Entahlah, bagaimana saya harus mengatakannya. Bagi saya, ini sih niat setengah-setengah yang
dibarengi dengan rasa optimis yang full.
Hahahaha! Terlalu PD (percaya diri) kaleee
yah!
Dan, apa yang saya pikirkan dari semua itu?
Hmm,
sepertinya, tidak selamanya proses yang sulit dan penuh perjuangan itu
membuahkan hasil yang diinginkan. Jangan pernah berharap lebih dari perjuangan
yang rumit. Mungkin saja kami tertatih mengikuti proses. Tapi, ketahuilah bahwa
hasil tidak selamanya berbanding lurus dengan ketertatihan. Terkecuali, kalau
keberuntungan berpihak padamu. Dan, kami (saya bersama teman-teman) sedang
tidak beruntung saat itu. Selanjutnya, mungkin juga niat dan rasa optimis harus
sama. Full untuk keduanya. Hehehe,
tidak seperti kami!
Selain itu, mungkin tidak seharusnya kami yakin akan
kelulusan dari sebuah proses hanya karena kualifikasi tertinggi yang kami
miliki. Karena, apa yang kami pikirkan tidak selamanya sama dengan apa yang
orang lain pikirkan. Mungkin saja, orang lain tidak memperioritaskan
kualifikasi yang tinggi. Melainkan, memandang dari sisi yang berbeda yang
bahkan tidak sempat kami pikirkan. Dan, sepertinya kami harus selalu ingat
bahwa dalam mengikuti tes, kami harus memikirkan peserta tes secara menyeluruh.
Jangan hanya memikirkan kemampuan dari pada teman yang sudah dikenal, melainkan
memikirkan kemampuan peserta lainnya yang kemampuannya tidak kami ketahui.
Mengapa? Ternyata, mereka yang tidak kami kenal itu bisa jauh lebih berbahaya. I think so!
Kerena jengkel dan tidak sanggup menerima kenyataan,
kami pun sempat mengatakan “Mereka (LC) akan
menyesal karena tidak menerima orang-orang seperti kami.” Namun, seiring
waktu berlalu, kami pun menyadari kalau anggapan itu tidak perlu kami
ungkapkan. Mungkin lebih baik kalau kami mengatakan, “Ya. Kali ini kami gagal. Ini adalah bagian dari rencana Allah. Akan ada
yang lebih baik nantinya.”
It’s
Okay!
Belajar dari Kegagalan
As you know,
guyssss…………….
Kegagalan itu selangkah lebih dekat dari kesuksesan.
Oleh karena itu, mari mencoba mengambil hikmah dari setiap kegagalan. Bercermin
dari kegagalan juga bagian dari proses menuju kesuksesan. So, tetap pertahankan
semangat dan optimis. Let’s grab another
chances!
Be
yourself because you deserve to be the best!
Komentar
Posting Komentar